20110130

boys in a band

Arjuna Bangsawan, Anis Setiaji, Roby Setiawan, Farid Stevy Asta
Please dont put your life in the hands of a rock and roll band wholl throw it all away _oasis

    liam dan noel tidak berhasil membujuk sekaligus menakut-nakuti saya dengan kalimatnya di don't look back in anger mereka. Pada kenyataanya, umur saya sekarang sudah lebih dari seperempat abad, dan saya masih sangat menikmati apa yang saya lakukan dengan dengan bangsat-bangsat karib saya di band ini. well yes, i'm a boys in a band. Nama yang dipilih untuk menjuduli band ini adalah jenny. 8 tahun lalu (2003) saat kami semua masih 8 tahun lebih muda, dengan segala letupan-letupan kelaki-lakian kami, jenny ter-ibarat-kan sebagai seorang perempuan semi sundal yang berpredikat miring sebagai pornstar, tentu saja lengkap dengan kombinasi antara penampilan dan kelakuan yang sesuai predikatnya. Lalu kemudian, satu malam diantara malam-malam selama 8 tahun tersebut, diantara percintaan-percintaan kami, malam itu kami bercinta terlalu mesra, terlalu hebat, dan terlalu bersemangat. sehingga terbuahilah rahim jenny si semi sundal. jenny mati saat melahirkan anak perempuan ini, anak yang terlahir menerima titisan dan titah penuh dari ibunya. Jenny kami yang sekarang adalah, perempuan kecil seumuran anak SD,sangat cantik dengan rambut, mata, dan lekuk milik ibunya. Dan kami bertiga dari tadinya yang berempat (personil), adalah bapak-bapak bangsat yang akan membesarkan anak ini.
    Jenny adalah saya, Farid Stevy Asta (vokal, pembaca doa), Arjuna Bangsawan (bass, penjaga altar), Roby Setiawan (gitar, penggali kubur), dan Danish Wisnu Nugraha (drums, pencatat dosa) yang menggantikan Anis Setiaji, satu dari empat kami yang memilih untuk berhenti lebih dini. kami adalah 3 bangsat karib yang kebetulan di pertemukan di jurusan DKV, senirupa ISI yogyakarta, yang memainkan musik yang hampir rock, dan hampir seperti seni. debut album 'manifesto' di rilis 2009 secara super mandiri, dan masih mandiri sampai sekarang, dan tidak akan menepi, dan tidak akan berhenti. Remah-remah tentang jenny ada di tautan ini

please God please, love me

farid stevy asta. DCDNC/ DCDNT #04 (atas) #05 (bawah). Please God please, love me. 2011, 150x130, acrylic on canvas & canvas collage
2 panel ini adalah karya nomor 4 dan 5 dari seri DCDNC/ DCDNC yang sedang saya kerjakan. pada seri ini saya mencoba mewartakan kembali berita-berita buruk yang sdh terlanjur di anggap indah dan tidak ada yang salah dengannya, sebegitu pula saya mencoba mendendangkan kembali nilai-nilai esensial yang sudah terlanjur dikecilkan bahkan di lupakan dan bahkan lagi di anggap tidak bermakna lagi. saya coba berbisik-bisik tentang kemunduran-kemunduran nilai diantara riuh ramainya para sangat percaya kemajuan hidup. seri ini saya dedikasikan untuk sebuah pesta kostum yang berarakan dalam karnaval kemunduran, dan untuk sebuah pesta megah yang merayakan hari-hari terakhir peradaban.
panel nomor 4 dan 5 : PLEASE GOD PLEASE, LOVE ME. Karena terlalu banyak para pencinta di luar sana yang menghamba-hambakan dirinya, dan memohon-mohonkan pintanya untuk cinta dari sejenisnya saja. wanita kepada pria, pria kepada wanita, pria kepada pria atau wanita kepada wanita. tidak salah sama sekali. memang tidak ada yang salah dalam ukuran-ukuran tertentu. tapi bukankah harusnya kita harus lebih memohon cinta, dan segala sesuatunya kepada yang maha pencinta? yang maha segalanya. semoga anda dan saya tidak lupa.

20110129

indonesia disjunction

2 panel karya yang saya kerjakan dalam seri DCDNC/DCDNT. panel nomor 01 dan 03, dalam medium akrilik pada kanvas dan kolase kanvas. 2 karya ini di pamerkan di  INDONESIA DISJUCTION - Fine Art Exhibition. di Kendra gallery - Seminyak, Bali. Pameran bersama teman-teman senior rombongan piknik dari jogja: Arie Dyanto, Agus Yulianto, Iwan Effendi dan street artist dari jakarta, Darbotz. Di kuratori ketua rombongan piknik, mister kurator berperawakan kurus nan metal dan gelap, Rain Rosidi. Setiap artist di undang ke Bali untuk mendisplay/ mempresentasikan karya dengan cara merespon ruang galeri kendra. Setelah setiap karya di susun dalam ruangan, kami kemudian mengerjakan mural di tembok tempat karya di gantung dan alhasil, ruangan yang tadinya bersih putih serta merta berubah menjadi arena mural yang mengingatkan saya ke kerja street art saya dahulu di tembok jalanan kota jogja. Masa yang mengawali kecimpungnya saya di kehidupan berkesenian dalam ruang pamer galeri. selama waktu tinggal kami di bali, cukup sehari saja untuk mengerjakan display mural ini, selebihnya: dialog-dialog ringan dengan teman rombongan piknik, bir, pool, toko sepeda, sedikit pantai dan bir lagi. Terimakasih Kim, Kusuma, dan semua tim kerja kendra gallery, terimakasih Ibu Susi johnston dan Ibu Valentina.

20110125

dynamic duos

farid stevy asta, i have enough i have too much, 2008, 200x170, acrylic on canvas
baru sekitar 2 tahun setelah saya mulai beraktifitas seni rupa dalam ruang pamer galeri, tepatnya pada desember 2008 , saya mendapatkan kesempatan untuk berpameran tunggal yang mengambil tajuk: Dynamic Duos di langgeng gallery Magelang. Saya membuat 10 karya personal dan 9 karya kolaborasi dengan teman-teman seniman. Beberapa karya painting yang terpamerkan dan karya-karya lama saya dapat di lihat di tautan ini. Dan berikut adalah kuratorial pameran yang di tulis oleh Rain Rosidi.

    Dog dog dog, working like dog,breathing like dog, playing like dog
 
   Sebuah kalimat provokatif yang tertera di salah satu pembuka emailnya kepada saya. Farid sering menggambarkan dirinya sebagai seekor anjing, sebagaimana karakter-karakter dirinya dalam lukisannya. Sebuah penggambaran yang ‘raw’terhadap cara dia merespon lingkungan sekitarnya. Farid Stevy Asta, pemuda kelahiran Wonosari, 28 tahun yang lalu ini adalah salah satu perupa yang belajar Disain Komunikasi Visual di ISI Jogjakarta. Latar belakangnya ini juga akan menarik untuk dibicarakan, karena Farid banyak mengadopsi idiom-idiom disain dalam lukisannya. 
    Farid memulai kerja seninya di jalanan. Dengan membuat grafiti, pada akhirnya dia lebih banyak bergaul dengan teman-teman perupa di lingkungan yang ‘bukan disain’. Salah satu seniman Jogjakarta yang menjadi influence besarnya adalah Eko Nugroho dan teman-temannya, yang dibesarkan dalam lingkungan seni lukis dan grafis (seni murni). Sebuah karyanya yang akhirnya menjadikannya berubah haluan adalah karyanya yang berupa sebuah teks yang berbunyi “The Future Starts Now”. Karyanya itu diterima dan dipamerkan dalam even Jogjakarta Biennal. Dari karya inilah, Farid mengakui perubahan haluan keseniannya. Dia merasa menemukan sebuah kerja kreatif yang lebih sesuai dengan karakter dirinya. 
    Rencana pameran ini dilakukan setelah pembicaraan dilakukan antara Farid, pak Dedi Irianto (Galeri Langgeng) dan saya. Waktu itu baru saja Farid menyelesaikan pameran bersamanya “Utopia Negativa” dengan beberapa seniman muda lain seperti Bambang Toko Witjaksono, Arie Dyanto, Wedhar Riyadi, Uji Handoko, dan lain-lain. Pada saat itu, Farid membawa dua buah lukisan personal dan sebuah lagi lukisan hasil kolaborasinya bersama Wedhar Riyadi dan Terra Bajragosha. Karya lukisannya berhasil mengesankan pencinta seni, dan selanjutnya saya dan pak Dedi merencanakannya untuk berpameran tunggal di Galeri Langgeng, Magelang.

Farid Stevy Asta dan Jogja Agro Pop
    Salah satu yang berkembang di art scene Jogja adalah berkembangnya kerja kreatif seni rupa yang sangat dekat dengan perkembangan budaya populernya. Anak-anak muda mengembangkan industri kreatifnya sendiri dengan bentuk-bentuk ruang dan industri alternatif, seperti distro, ruang galeri, studio, dan manajemen musik dan seni. Kerja kreatif mereka menciptakan ruang kreasi yang mempunyai kekhasan yang berbeda dengan kerja seni lainnya. Kerja kreatif mereka lebih dekat pada hobby dan gaya hidup kesehariannya. Salah satu yang sekarang sangat menonjol adalah kerja di bidang seni rupa. Dalam seni rupa, muncullah satu kecenderungan yang unik perpaduan berbagai kerja kreatif dalam dunia anak muda, seperti dari musik, disain, street art, DJing, komik, dan gaya panggung. Panggung dan pesta anak muda menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan seni rupa dengan ciri ini. Dan yang terjadi pada saat ini adalah, beberapa dari mereka menerjuni dunia seni secara serius dengan mengerjakan karya-karya lukisan dan patung.
    “Jogja Agro Pop” adalah sebuah istilah yang iseng ditasbihkan pada sekelompok seniman muda yang dijiwai oleh spirit gaya hidup urban tersebut. Di Jogjakarta, spirit urban ini muncul di tengah kelompok anak muda yang berada di batas yang unik antara semangat urban yang kosmopolit dengan kehidupan lokal yang masih cenderung rural. Mereka adalah generasi yang sangat sadar akan keberadaan dirinya di tengah perubahan arus global, sembari sesekali menengok keberadaan dirinya di tengah kehidupan lokal Jogjakarta. Jogjakarta bukanlah sebuah kota besar seperti dengan Jakarta, tetapi lebih menyerupai kota kecil (atau bahkan kampung besar) dengan tradisi yang kuat. Hanya saja, dari kota ini, para anak mudanya lebih leluasa untuk bermain dalam jaringan internasional, lewat medium internet, jaringan ruang seni, dan even-even seninya. Dari kampus-kampusnya, juga terjadi interaksi yang intensif dengan mahasiswa asing dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Di kota ini, kerja kreatif terus bertumbuh, dengan atau tanpa campur tangan kebijakan penguasa dan pasar mapan.
    Di kota ini pula, Farid bekerja tidak hanya pada karya-karya seni yang mapan. Farid lebih akrab dengan kerja seni yang lebih didasari oleh semangat bermain dengan hal-hal yang disukainya, seperti membentuk grup band, menulisi grafiti di kota Jogjakarta, dan bersama teman-temannya mengerjakan berbagai hal kreatif. Demikian pula pada kerja disain visual yang masih tetap digelutinya. Dari sinilah, semua karya lukisannya mendapat pengaruh terbesarnya. 
    Benang merah dari para perupa muda ini tidak bisa ditengarai pada satu gejala visual saja, misalnya komik, grafiti atau ilustrasi. Pada komunitas pergaulan ini, ada hal-hal lain yang menghubungkan mereka di luar faktor visual, misalnya interaksi mereka dalam bidang musik. Selain itu, mereka juga dipertemukan dalam interaksi-interaksi di antara mereka yang tidak saja berupa kerja kreatif visual, tetapi juga kesamaan hobby dan pertemanan. Itulah yang menjadi spirit dari komunitas ini, yang sering disebutkan sebagai mempunyai kesamaan ‘attitude’

Farid dan kerja kolaborasinya

collaboration, Farid Stevy Asta & Wimo Ambala Bayang, 2008, 110 X 110, digital print on canvas
    Farid membagi projek pamerannya ini dalam dua sesi, sesi pertama adalah sesi kolaborasinya bersama sebelas teman bermainnya dalam dunia seni rupa. Sesi kedua adalah karya-karya pribadinya. Sesi kolaborasi itu bertemakan pasangan-pasangan legendaris yang mewarnai dunia populer. Ide pameran ini pertama-pertama bersifat teknis dan cenderung taktikal. Farid yang walaupun pernah menjadi peserta even-even besar seni rupa di tanah air, tetap merasa sebagai pendatang dan orang yang berada di wilayah asing dalam jagad seni rupa kontemporer. Perasaannya sebagai ‘alien’ ini, kemudian memberinya ide untuk membuat pameran dengan menyertakan teman-temannya sesama art scene di Jogjakarta untuk mengusung ide kolaborasi
    Pertimbangan yang lain adalah, bahwa Farid ingin menawarkan kepada khalayak pecinta seni bahwa sebuah karya yang lahir dari seseorang individu tidak lahir begitu saja dari satu orang perorang, tetapi juga berada dalam sebuah lingkungan sosial dan kreatif  tertentu. Kerja kolaborasi barangkali menyalahi prisnsip seni modern yang memuja personalitas karya. Bagi Farid, prinsip kerja ini lebih sesuai dengan kerja kreatifnya sebagai seorang disainer. Farid tidak saja menawarkan idiom visual pribadinya, tetapi menyandingkannya, dan sesekali mempertandingkannya dengan diom visual seniman lain. Prinsip yang sebangun dengan apa yang terjadi di kalangan street artist, yang dikenal dengan istilah ‘battle’. Karya seseorang bisa merespon karya seniman lain, atau justru melawan karya lainnya. Keasyikan bekerja sama ini meperkaya idiom visual yang muncul dalam karya-karya lukisannya.
   Kerja ini diawali dengan berdiskusi antara Farid dengan seniman yang diajaknya berkolaborasi. Setelah itu, masing-masing pihak menentukan tokoh apa yang akan dikerjakan secara kolaborasi. Pemilihan pasangan tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan dengan hasil diskusi dengan si seniman dan mempertimbangkan gaya masing-masing seniman. Dan hal tersebut kemudian mencerminkan kecenderungan dari masing-masing seniman. Farid menggambarkannya sebagai sebuah ‘gang bang visual’. Pesta mengeroyok ramai-ramai dirinya. Dalam pesta itu, masing-masing pihak harus ‘terpuaskan’. Untuk itu proses ini diakhiri dengan dialog terakhir untuk menentukan hasil akhir karya tersebut.

Farid Stevy Asta dan gaya visualnya
    Farid banyak terpengaruh secara visual oleh street artist yang akhirnya dikenal dalam ranah seni kontemporer. Sebutlah misalnya, Dave Kinsey, yang kebetulan juga seorang disainer yang kemudian bekerja di medium-medium lain seperti lukisan. Sama seperti Farid, Dave Kinsey juga menggunakan idiom street art dan disain dalam lukisannya. Pada seniman ini, jejak pengaruhnya pada Farid terlihat pada penggunaan layer-layer yang bertumpuk pada bidang lukisan untuk menggambarkan kompleksitas kehidupan kontemporer. 
    Seniman-seniman seperti Andy Warhol, Jean Michel-Basquiat, dan Shepard Fairey menjadi influence-influence lain dalam kerja seninya. Andy Warhol dengan tatacara yang sangat berbeda dengan kerja seni sebelumnya, namun menjadi ikon seni kontemporer masakini, telah memberinya inspirasi untuk bekerja dengan idiom disain, seperti membentuk ‘factory’ yang dengan sadar memproduksi karya-karya dengan cara massal. Dari tokoh ini, Farid banyak melihat bagaimana seharusnya karya seni muncul dari semangat di luar hal-hal yang mapan.
    Shepard Fairey juga menjadi salah satu seniman kesukaannya. Tokoh ini juga adalah teman dari Dave Kinsey yang lebih banyak bekerja di ranah street art. Cara seniman ini dalam menggunakan warna-warna yang minim bisa ditengarai jejaknya pada karya Farid Stevy Asta, yang cenderung monokromatik. Sebagai seorang disainer, Farid tetap mengukuhkan keberadaan dirinya lewat idiom visual yang khas. Dengan gaya yang mengingatkan figur-figur pemujaan suku Indian, figur-figur kaku dan menjulang ke atas. Warna kecoklatan sebagai layer pengikat. Suasana monokromatis. Dari segi teknis, Farid mengeksplorasi gagasan-gagasan visual dalam dunia desain, seperti pemakaian layer warna kecoklatan sebagai pengunci semua warna yang digunakannya.
    Muncul dalam karyanya citra-citra binatang seperti anjing bulldog, babi, dan sebagainya yang dipergunakannya untuk membuat karakter dirinya sendiri. Karakter-karakter dirinya yang menunjukkan bagaimana dia bersikap terhadap lingkungan sekitarnya. Sebuah cara yang memunculkan emosi ‘raw’nya yang masih dibumbuinya lagi dengan figur-figur terpotong yang terkadang memunculkan batang tulang-tulangnya. Visualisasi ini terkesan kasar, namun dikembangkan dalam komposisi yang menarik untuk dilihat. .

Farid Stevy Asta di belantara suhu-suhu POP
farid stevy asta, nothing last forever, 2008, 140 x 200, acrylic and aerosol on canvas
    Di masakini, sebuah karya sangat sulit untuk dilepaskan dari konteks jaman dan lingkungan tempat karya dan senimannya berasal. Lingkungan tertentu menghasilkan energi kreatif tertentu pula. Dalam ranah budaya pop, nama-nama besar yang menyejarah menjadi bagian dari ikon-ikon dan monumen-monumen yang menyertai sejarah budaya manusia. Nama-nama itu menjadi bagian dari budaya masakini, berdiri tegak menjadi tanda-tanda kejayaan masalalu dan tanda-tanda untuk membaca masadepan. Ketika kita masuk dalam budaya populer itu, dalam ruangan sudah berdiri di sana, Andy Warhol dan Basquiat, Syd dan Nancy, John Lennon dan Yoko Ono, Muhamad Ali, dan bahkan Joker dan Harley Queen. Mereka berdiri menjadi monumen budaya pop yang akan terus di sana ketika kita mencoba masuk di dalamnya. 
    Citra-citra itu menjadi bagian dari kehidupan populer masakini. Apalagi dalam dunia visual yang digeluti oleh Farid Stevy Asta. Para tokoh ini dijumpainya dalam bentuk-bentuk citra yang seolah-olah hidup bersama berdampingan dengan dirinya dalam koridor budaya pop. Para tokoh legendaris itu direproduksi dalam jutaan citra copyannya yang tetap dikonsumsi sampai detik ini. Mereka menjadi ‘teks-teks’ yang tak pernah usai dinikmati oleh jutaan manusia. Dan Farid memilihnya dalam wujud citra-citra ikonik pasangan-pasangan pesohor yang mengisi dunia citra kontemporer. Itulah yang kemudian dimasuki Farid ketika dia mencoba mencari dasar atas idiom visualnya. Farid menggunakan citra-citra ikonik para pesohor itu sebagai cara dia untuk masuk dalam wilayah seni pop.
    Menyandingkan dua tokoh dalam sebuah karya bukan sesuatu hal yang baru. Tetapi pada karya Farid, persandingan itu juga dilakukan dalam gaya visual, dan dilakukan oleh dua seniman. Dengan masing-masing seniman, Farid tidak saja menawarkan karakter tokoh yang berbeda-beda, tetapi juga medium yang dipakai. Hal tersebut memberi tawaran yang sangat menarik, karena kemudian muncul karya-karya dengan medium yang tidak biasa dilakukan oleh Farid sendiri.    
    Salah satunya adalah kolaborasinya dengan Wimo Ambala Bayang, yang berbasis fotografi. Dalam karya ini, Farid bertindak sebagai objek karya Wimo Ambala Bayang. Karya yang mengambil citra ikonik dari foto pasangan John Lennon dan Yoko Ono karya Anne Leibovitz itu diapropriasi dengan sosok dirinya. Karya lain adalah persandingan antara dua karakter komik dalam serial Batman, yaitu Joker dan Harley Queen. Pasangan ini dikerjakannya bersama Bendung yang sangat kuat dalam menggarap karakter komikal. 
    Pilihan-pilihan duo itu menunjukkan pula pemahaman dan kedekatan emosi Farid terhadap isu-isu dan hasil-hasil produksi visual dalam dunia populer. Tidak saja “Dinamic Duos” itu menggambarkan pasangan-pasangan kontroversial abad ini, tetapi juga apa yang terjadi antara Farid dengan teman-teman kolaborasinya. Dia berperan sebagai pasangan masing-masing seniman itu, dan berusaha membuat kesan dan emosi yang berbeda di setiap kolaborasi. Kerja ini diakuinya cukup menantangnya. Farid sempat terkejut ketika mendapati hasil karya teman-temannya itu dalam melukis untuk kanvasnya. Para seniman muda itu mengerjakan karya kolaborasi yang akan direspon oleh Farid dengan sangat serius. Masing-masing menghadirkan gaya dan interpretasi yang biasa mereka kerjakan dalam karya pribadinya. Dalam kerja ini, diskusi yang dilakukan oleh Farid dan teman-temannya menjadi bagian dari proses kreatif yang utama, dan keberhasilannya tak lepas dari kedekatan emosional Farid dan teman-temannya sesama perupa. Itulah yang menjadi gambaran dari lingkungan darimana Farid dibesarkan sebagai salah satu perupa muda Indonesia saat ini.

rekreasi tanda

farid stevy asta, the future starts now, 2008, 200 x 150, mixed media acrylic and aerosol on canvas
    Sebuah tulisan dari teman sekaligus mentor saya, mas Sudjud Dartanto. termuat dalam katalog pameran tunggal pertama saya 'dynamic duos' tahun 2009 di langgeng gallery magelang.  

    I like boring things - Andy Warhol
    Festival  Kesenian Yogyakarta, 2007. Farid Stevy Asta membuat kotak berukuran 150 x 20 x 30 cm . Seperangkat alat kerja terlihat berserak di atas bidang itu: kaleng spray paint, sendok, mainan keyboard, roll cat tembok, kuas, masker, masking. Kotak dari bahan plexy glass ini mengeluarkan cahaya  putih dari semprotan lampu disebaliknya dan menjadikan berbagai objek diatas bidang putih menjadi sebuah siluet tersendiri. Inilah  karya objek pertama Farid berjudul “Teman Bermain” yang dinikmati pemirsa luas dalam even tahunan Yogyakarta ini. Objek-objek ini  tidak lain adalah benda-benda yang hadir dalam kamar kerja ‘Farid’ Stevy Asta. Benda-benda ini adalah alat produksi karya seni. Farid dengan sengaja memindah media artistik justru pada alat produksi artistik. Bagi saya karya ini mengesankan, suatu ‘kejujuran’ untuk tidak ingin memproduksi citra baru, tetapi lebih memanfaatkan benda-benda sehari-hari. Seperti mengolah kebosanan estetik yang justru menjadi inspirasi segar.
    Biennale Yogyakarta “Neo Nation” 2007.  Sebuah lukisan dengan latar belakang dekorasi. Tepat ditengah lukisan itu muncul teks bertulis: “The Future Starts Now”. Judul lengkap karya itu “History is Dead, The Future Starts Now”. Karya ini mengulang kembali kejutan karya Farid saat FKY. Yang kali ini hadir dengan teks yang memancarkan daya provokasi. Teks menjadi penanda waktu. Ia memotong kontinum waktu dulu, kini, dan memanggil masa depan untuk hadir pada kekinian sekarang ini. “Masa depan tiap-tiap orang dimulai atau tergantung dari apa yang mereka kerjakan sekarang”, ujar Farid. Bila pada karya “Teman Bermain” Farid menggeser kelaziman artistik dari media ke alat produksi, pada karya di Biennale ini Ia memindah imajinasi masa depan ke masa kini.
    Di sebuah pesta sekolah sebuah SMA di Yogyakarta, Farid menutup serangkaian band-band sebelumnya dengan penampilan bandnya: Jenny dengan sebuah hits “Mati Muda”. Remaja-remaja yang bersorak lalu mengerumun tepat dimoncong panggung. Ini adalah lirik lagu yang segera akan menjadi sebuah reffrain yang dikenal oleh basis fans Jenny. Lagu ini memberi tekanan pada waktu biologis. Bukan masa kecil atau masa tua, namun pada masa muda. “Semoga matiku, mati muda”, satu penggalan lirik ini mengguncang kita, mengapa harus mati muda? Lirik ini mengingatkan kita pada beberapa ikon dunia yang meninggal saat usia muda: Sid Vicious , Jean Michel Basquiat, Jim Morrison, Kurt Cobain, dan lain-lain. Mereka mencetak prestasi luar biasa, dan mengakhiri usia mereka di usia muda dengan cara tragis. Tentu lagu itu tidak ingin mengajak anak muda mati konyol, namun lagu itu ingin memberi intonasi pada pentingnya melakukan banyak hal pada usia muda.
    Tiga sekuen kreatifitas Farid ini bagi saya menjadi jalan untuk memahami bagaimana cara Farid bekerja dengan memperhatikan ikon historis dan karya yang dianggapnya memiliki daya ubah. Ikon historis dan karya yang memiliki nilai propaganda dalam mengubah sejarah, masyarakat dan seseorang. Pesona ikon dan karya ini adalah simbol inspirasi oleh sebab kekuatannya dalam membuka berbagai cara berkespresi dan pengucapan baru dari  ortodoksi yang mengungkung. Melahirkan penciptaan-penciptaan baru dari tekanan tradisi dan modus konvensional. Lantas, apa yang mau dicari? Ini yang menarik. Jenis pencarian-pencarian ini tidak lagi mengerjakan narasi-narasi besar, namun ingin melebur dalam pesona tanda. Terutama pada pentingnya efek sebuah tanda.

    The most exciting attractions are between two opposites that never meet.
    Dalam pameran ini Farid melibatkan interaksi sejumlah perupa muda yang telah memantapkan karir mereka sebagai generasi perupa yang menjelajahi berbagai efek tanda ini, antara lain: ‘Wedhar’ Riyadi, ‘Wimo’ Ambala Bayang, ‘Iyok’ Prayogo, Eko ‘Codit’ Didik  Sukowati, Uji ‘Hahan’ Handoko, Riono Tanggul ‘Tatang’ Nusantara, ‘Terra’ Bajragosa, Hendra (Blangkon) Priyadhani, Indieguerillas, ‘Yuvita’ Dwi Raharti, dan Ermambang ‘Bendung’ untuk melakukan interaksi kerja. Memilih sejumlah fokus-fokus figur yang dianggap punya efek kuat dalam pembentukan budaya urban, budaya anak muda, budaya popular seperti pasangan legenda dunia  yaitu seniman fluxus Yoko Ono dan vokalis The Beatles, John Lennon, Vokalis band Punk Inggris, Sex Pistol : Sid Vicious dan pasangannya Nancy Spungen, presiden pertama Indonesia Sukarno dan ‘teman dekatnya’ Marilyn Monroe, sosok pegulat Nacho dan petinju Muhammad Ali, kisah film Beauty and The Beast, komedian kartun: Beavis and Buthead, band RamonesMereka adalah idola-idola, referensi-referensi yang memilki efek tersendiri bagi kalangan peserta interaksi ini. Nyaris semua referensi ini sebagian besar adalah ikon barat. Dalam projek interaksi ini Farid melalukan kerja bersama dengan para interaktor ini untuk merespon para figur. Sebuah interaksi yang penuh kejutan. Semua menanti seperti apa hasilnya, namun bagi Farid, justru disini letak kenikmatannya. Lalu apa hubungannya para figur dunia itu dengan mereka yang tinggal disini?
    Pertanyaan ini mungkin tidak relevan dalam melihat dunia yang kini telah begitu mencair. Apa yang terjadi di Milan, New York, London, Paris dengan cepat akan dikenal disini. Sebaliknya apa yang terjadi di Yogyakarta dan kota-kota lain dengan cepat akan diketahui oleh dunia. Dalam dunia yang mencair ini pasar menjadi begitu terbuka, ia tidak saja merupakan pasar komoditi akan tetapi juga pasar gagasan. Orang kini begitu mudah untuk melahap apa saja yang disukai dari tren musik, fesyen hingga berbagai pemikiran para tokoh.

    Once you 'got' Pop, you could never see a sign again the same way again. And once you thought Pop, you could never see America the same way again - Andy Warhol
    Dunia yang kian mencair itu kian menentukan cara kita mengada. Globalisasi bertumpang tindih dengan keragaman budaya di Indonesia ini menyebabkan cara pandang dan identitas kita tidak tunggal dan sedemikian bercampur-baur. Kemencairan ini disebabkan oleh badai informasi yang menjadi ciri kebudayaan sekarang. Kalau saja kecepatan informasi dalam satuan byte itu berbentuk visual, maka udara kita bagaikan dipenuhi oleh kilatan-kilatan informasi, seperti untaian kode dalam film Matrix. Apakah corak globalisasi kini menciptakan segala sesuatu menjadi seragam? Dalam berbagai kerja kreatif, dan seperti apa yang dikerjakan oleh Farid ini menunjukkan cara mengalami globalisasi ini dengan lebih produktif. Globalisasi justru menjadi peluang untuk menunjukkan otentisitas ekspresi. Globalisasi menghasilkan proses berbalik yang  unik dan cenderung rekreatif tanpa memusingkan apakah ini peniruan, kutipan, comotan, bahkan pencurian tanda. Artinya, tanda yang dicomot difungsikan dengan arti dan cara berbeda. Di sini status tanda yang dicomotpun menjadi tidak sama dilihat. Konten karya Farid dan musiknya tetap berangkat dari kesadaran eksistensial dan situasi hidbriditas budaya ‘ala Indonesia’. Selalu ada konteks-konteks lokal yang tidak sama walau citra yang digunakan menggunakan bahasa popular.

    Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works - Steve Jobs
    Dengan latar belakang Desain Komunikasi Visual ini Farid familiar dengan pesona “citraan popular” yang menjadi jantung dari pembentukan selera zaman. Sejak kita bangun hingga tidur dalam satu hari sesungguhnya mata kita melahap ratusan hingga ribuan tanda setiap harinya. Desain memberi pencitraan bagaimana kita meresepsi sesuatu. Sejak dari kamar, jalanan, pusat perbelanjaan, hingga kembali ke kamar. Apa yang menarik bagi saya adalah pengalaman Farid dalam berurusan dengan industri pencitraan popular ini memengaruhi bagaimana caranya memperlakukan dan memfungsikan referensi tanda. Dunia ini sudah terdesain. Keberhasilan desain bukan pada bentuknya lagi, namun sejauh mana desain itu berfungsi dalam kehidupan.
    Latar belakang desain Farid menjadi modal bagaimana Ia sensitif pada struktur desain yang telah ada dan bagaimana Ia harus menampilkan tanda dengan caranya yang lain. Misalnya pada karya “Teman Bermain” memperlihatkan kepiawaian Farid dalam memberi daya lebih pada citra benda di kamar kerjanya. “The Future Starts Now” misalnya, memberi penegasan kuatnya teks sebagai pesan yang mengubah cara pandang kita melihat sesuatu. Demikian pula yang terlihat pada sejumlah karya-karyanya dalam pameran ini yang menampilkan corak pop dengan kontur  pembentuk berbagai figur dalam karya-karyanya.Betapapun dalam pameran ini sejumlah tanda-tanda berseliweran dari berbagai arah historis dan geografis, tanda-tanda itu menjadi lain maknanya dalam semangat rekreatif ini. Tanda-tanda itu ditangkap dan berubah menjadi sinyal baru dalam menandai semangat jaman Farid dan para interaktor dalam pameran ini.

manifesto postmodernisme

    ini adalah beberapa kalimat lirik yang saya tulis dalam komposisi berjudul manifesto postmodernisme, yang terdapat dalam album debut jenny, manifesto (2009) yang berisi 10 materi lagu yang terasa hampir rock, ya..hampir saja. lebih intim dengan band 3 bangsat ini? silahkan menuju tautan ini, jenny teman pencerita.
    sebuah manifesto nyalakan postmodernism, bungkam para arogan terjang para ideal, segalanya sudah ditemukan, semuanya telah didefinisikan, ais sisanya ditanah susun lagi di tanganmu, tak ada lagi kebaruan, semua kata pernah dikalimatkan, pilih sisanya di udara, ucapkan lagi di mulutmu, tak ada yang baru dibawah matahari, katakan sesuatu yang baru dari dalam isi kepalamu.  
    postmodernisme tercicip cicip oleh lidah saya, terasa seperti paduan dari semua rasa yang pernah saya rasakan atau yang saya harap akan bisa rasakan. segala sesuatunya kemudian terpapar kasar dalam hampir semua hal yang saya lihat dengar sentuh dan rasakan di sekeliling saya. betapa semuanya sudah pernah di rayakan dan di matikan oleh para dahulu. betapa apa yang sedang kita rayakan dan matikan sekarang adalah pengulangan acak dari apa-apa yang pernah hidup dan mati dahulu. saya di ambang tajam ketidak percayaan terhadap konsep orisinalitas. saya adalah postmodernis, yang hanya akan murtad dari postmodernisme ketika turun seorang nabi atau sekalimat wahyu baru dari-Nya, yang saya yakini tidak akan terjadi. jadi inilah saya, postmod saya, dan polah-polahnya.