20110719

on my way to VELVET UNDERGROUND

Hampir selama 4 bulan terakhir, hanya ada dua album yang selalu terputar ulang dalam rotasi yang cukup kencang di media player saya yaitu American IV–Johnny cash dan loaded–The velvet Underground. Satu sore diantara 4 bulan itu, di lounge cotton crew store, oleh evenue magz saya di beri kesempatan untuk menulis artikel ini. Buru-buru saya menyebut The velvet Underground untuk coba saya tulis, walaupun sebenarnya saya tidak terlalu tahu. Alasan saya memberanikan diri, karena saya juga ingin tahu, ada apa antara saya dengan loaded dan para pembuatnya. Mulailah kemudian saya mengingat-ingat simpul-simpul yang mempertemukan saya dengan mereka. Tulisan ini sepertinya akan terasa subjektif, personal, dan lebih seperti  rekaman inderawi saya atas The Velvet Underground, bukan artikel yang memapar  jelas apa siapa mereka. Toh sudah tidak kurang dibahas bagaimana brilliannya band ini oleh kritikus music. Google dan Wikipedia sudah pasti menyajikannya sempurna.

Adalah Andy Warhol, nabi besar pop art, salah satu artist yang punya campur tangan besar dalam senirupa saya. Kemudian the strokes, garage revivalist asal New York yang waktu itu membuat saya berfikir bahwa mungkin saya bisa membentuk sebuah band.  Andy Warhol dan The Strokes-lah yang kemudian menyeret saya masuk ke kerumunan cerita-cerita mereka sampai akhirnya bisa berjabat tangan dengan The Velvet Underground.  

Gambar buah pisang, berwarna kuning dan hitam, di buat dengan teknik cetak saring (sablon), tertata diagonal dalam ruang kotak putih, adalah karya Andy Warhol pertama yang saya temui, adalah cover art untuk album The Velvet Underground & Nico. Terekamlah nama The Velvet Underground di benak saya untuk pertama kalinya. Lalu, waktu itu, sembari mendengarkan lastnite, is this it atau barely legalnya the strokes, di salah satu wawancaranya, Julian Cassablancas (voc. The strokes) mengatakan bahwa lou reed-lah (song writer, guitarist, voc The Velvet Underground ) salah satu alasan dia membentuk the strokes. Reaksi berantainya makin menjadi-jadi di benak saya, pertanyaan lugasnya: siapa lou reed? siapa The Velvet Underground?
 
Oke, sekarang ikuti saya. Pastikan koneksi internetmu berfungsi, dobel klik di browser, Ketik Wikipedia, tekan enter, lalu ketik ‘The Velvet Underground’ di kotak pencari. Biografi dan diskografi Tersedia sempurna semua di situ, bahkan majalah musik tersohor asal britania raya NME pun merujuk ke tulisan Wikipedia ini untuk menyampaikan biografi The Velvet Underground. Saya coba terjemahkan sedikit dengan bantuan kamus colongan dari perpustakaan SMA saya dulu.  The Velvet Underground, sebuah band rock Amerika yang terbentuk di New York City tahun 1965, dan aktif sampai 1973.  Personilnya Lou Reed (song writer, guitarist, voc), John Cale (viola), Sterling Morrison (guitarist), Maureen Tucker (drummer), Nico (voc), Doug Yule (bassist). Dan bla bla bla terusannya, silahkan anda gali sendiri.

Terlepas dari paparan biografi, review, atau pendapat kritikus musik yang sudah pernah di tulis, The Velvet Underground menjadi sangat eksotis dan penting bagi saya atas karya-karya mereka yang hampir selalu bisa berdiri di suatu tempat dalam teritori musik yang baru, cenderung aneh dan mengejutkan, dan sekali-kali menggoda saya untuk berani menyebutnya sebagai karya yang revolusioner.  Walaupun terminologi ‘baru’ dan ‘revolusioner’ sebenarnya bermakna nihil menurut cara pandang saya. Namun, baik secara sadar dalam berproses maupun dengan keberuntungan dan kebetulan-kebetulannya, The velvet Underground akhirnya bisa menjejakkan mesin eksplorasi mereka ke suatu dataran baru yang belum pernah di singgahi oleh orang lain. The Velvet Underground mencoba mendefinisikan kembali batas-batas luar music rock, sekali lagi, menghasilkan sesuatu yang belum pernah di coba oleh orang lain. Bahkan di kurun waktu itu (pertengahan sampai akhir60-an), masa resesi dunia (kurang lebih di karenakan perang amerika vietnam) yang kemudian memicu terjadinya pergerakan budaya besar-besaran untuk melawan perang (hippie, flower generation), di ikuti dengan dengan kemunculan band, musisi dan perhelatan  penting perumus sejarah musik dunia dalam kadar yang sangat eksplosif. Sebut saja the beatles, the who, the doors, jimi Hendrix, pink Floyd, the stooges, the grateful dead, the rolling stones, bob Dylan, David Bowie, Woodstock festival, dan sekarung penuh penanda-penanda lain. The Velvet Underground diam-diam menyeruak kuat dari bawah tanah New York, dengan kawalan penuh dari Andy Warhol, menyuarakan berita-berita tentang drugs, kaum transgender, kaum gay. Sesuatu yang belum pernah di perdengarkan oleh music rock sebelumnya, juga sesuatu yang atas ukuran adab, norma dan budaya waktu itu diangap menyimpang, namun sebenarnya sangat ada dan sangat nyata terjadi. Yang menarik kemudian, ketika pergerakan dan perlawanan yang di lakukan oleh para hippies dengan bahasa psikadeliknya kemudian menjadi semacam ‘populer’ dan seakan menjadi arus utama pergerakan budaya, The Velvet Underground melakukan perlawanan yang serupa, namun dengan bahasa yang berbeda, dengan cara yang lebih mutakhir, dengan gerak yang lebih edgy. Menjadi cukup satir jika kemudian saya berpendapat bahwa sekarang kita berada di lingkungan budaya yang di penuhi oleh ‘para ingin menjadi seperti’ dan ‘para brilian dengan citra curian’, yang cukup puas dengan pencapaian-pencapaian stagnan, dan tidak sekalipun resah terhadap perubahan.

Intensitas yang dalam mencari karakter dan perwajahan The Velvet Underground dengan berbagai cara berkarya yang di kerjakan dengan eksperimen-eksperimen yang keluar dari kotak kebiasaan. Percobaan-percobaan teknis dengan alat musik mereka lakukan sejak album debut sampai karya-karya terakhirnya. mencampur aduk bahan mentah bunyi-bunyian itu dengan cara yang tidak jamak namun selalu dalam takaran yang tepat untuk mencari identitas bunyi The Velvet Underground yang distinctive dan istimewa. John Cale menyebutnya dengan memainkan ‘3 chord rock’ yang tersohor itu dengan cara ‘1 chord rock’, kemudian di timpali dengan efek ‘drone’ atau dengung yang di dapat baik dari rythim guitar riff lou reed atau permainan viola-Nya yang sangat terbaca di dua album pertama mereka.  Abum debut ‘The Velvet Underground & Nico’ (1967), karakter musiknya semakin kuat dengan vokal yang rata, pucat dan suram dari nico reed, dalam tabuhan drum sederhana dan ajek, di ulang ulang. Konon album ini di rekam dalam waktu dua hari saja. Lalu album ‘White Light / White Heat’ (1968) The Velvet Underground berusaha menjejalkan lebih banyak oktan energi dan di keluarkan dengan suara gitar yang mentah. Tidak berhenti, masih banyak ramuan ajaib di album-album mereka berikutnya. Rolling Stone menasbihkan debut The Velvet Underground & Nico sebagai salah satu album rock terbesar dan sepanjang masa. Beberapa track penting dari album ini, ‘I'll Be Your Mirror’ sebuah lagu aneh tentang yang dinyayikan oleh nico (penyanyi wanita asal jerman) dengan sangat menyihir, lagu ini aneh dan eksentrik. ‘Heroin’, track yang secara bangunan suara lebih ‘normal’ di banding track lain di album ini, namun sekali lagi menjadi  ‘tidak normal’ karena tema tulisan lou reed. Lou reed menulis dengan sangat absurd dan bebas, ini tak lepas dari peran Andy Warhol. Lou reed sendiri bilang bahwa tanpa andy Warhol, velvet underground mungkin tidak akan terdengar seperti itu. Sebagai figur sentral dari pergerakan seni avant garde waktu itu, Andy Warhol punya posisi tawar  super kuat atas label rekaman, produser, atau bahkan siapapun untuk tetap menjaga The Velvet underground tetap seperti bagaimana seharusnya mereka. Andy-lah yang mendapatkan kontrak rekaman debut album The velvet Underground, dan Dia memastikan The Velvet Underground membuat lagu, menulis, merekam, dan membuat debut ini, persis seperti apa yang The Velvet Underground inginkan, tanpa campur tangan dari pihak manapun. Jangan lewatkan juga track-track seperti Sunday Morning, I waiting for my man, Rock n roll, cool it down. 

The Velvet Underground, atas mentahnya mereka, dan atas keberanian mereka menjelajahi batas-batas luar dalam berkarya, memberikan cetak biru pola berkarya yang sudah seharusnya di lakukan oleh seniman,  musisi, band, atau siapapun kita dan apa yang kita lakukan. Menjadi murni dan bebas. Saya rasa hal inilah yang membuat saya kasmaran dengan The Velvet Underground. Menjadi murni dan bebas.

Tulisan ini dimuat juga di EVENUE MAGZ #02 


2 komentar:

  1. minggu belakangan ini saya sering mendengarkan the strokes, pink floyd, artic monkey dan the velvet underground. tulisan ini sangat menambah wawasan saya tentang apa dan siapa yg sering saya dengarkan itu. two thumbs up! buat tulisanya mas farid : )

    BalasHapus
  2. terimakasih banyak. tulisan ini hanya sekedarnya saja.

    BalasHapus